PONTIANAK -
Direktorat Lalu Lintas Polda Kalimantan Barat menegaskan bahwa Operasi Zebra Kapuas 2025 bukan sekadar agenda tahunan, melainkan “rem darurat” untuk mengendalikan kembali kedisiplinan berlalu lintas setelah terjadinya lonjakan pelanggaran hingga 4.800 persen pada periode sebelum operasi ketika tilang manual tidak diberlakukan.

Hal ini disampaikan Kabag Bin Opsnal Ditlantas Polda Kalbar, AKBP Ricky Renerika Riyanto, dalam pemaparan analisis dan evaluasi hasil operasi di Pontianak, Kamis. Ia mengungkapkan bahwa lonjakan tersebut dipicu oleh maraknya pengendara yang mencari celah menghindari Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE).

“Banyak pengendara memanfaatkan celah di media sosial untuk menghindari ETLE. Lonjakannya sampai 4.800 persen. Ini mengkhawatirkan,” ujarnya.

Untuk merespons kondisi ini, Operasi Zebra Kapuas 2025 diarahkan lebih kuat pada edukasi keselamatan dan pencegahan pelanggaran. Pendekatan pre-emptive dilakukan melalui program Korlantas Menyapa, sambang komunitas roda dua dan empat sebanyak 553 kegiatan, sosialisasi ke sekolah dan kampus 378 kegiatan, serta sosialisasi ke perusahaan dan pabrik 272 kegiatan.

“Upaya pre-emptive dilakukan masif agar pesan keselamatan menjangkau semua kelompok masyarakat,” kata AKBP Ricky.

Ditlantas Polda Kalbar bersama instansi terkait melakukan pemeriksaan bus dan truk melalui RAMCEK sebanyak 416 kegiatan, pemeriksaan rambu dan sarana keselamatan jalan 752 kegiatan, penempatan personel di titik rawan kecelakaan 2.634 kali, patroli pelanggaran 3.404 kegiatan, serta Turjawali sebanyak 18.024 kegiatan.

Pada aspek penegakan hukum, Operasi Zebra mencatat 6.902 penindakan, terdiri dari:

- ETLE statis: 11 pelanggaran terkonfirmasi

- Tilang manual: 1.369 pelanggaran

- Teguran tertulis: 5.522 pengendara

AKBP Ricky menekankan bahwa ETLE mobile belum digunakan karena belum tersambungnya sistem Polda Kalbar dengan Korlantas Polri.

“Kalau dipaksakan, hasil sorotan tidak masuk aplikasi. Itu bisa menimbulkan anggapan tilang bodong, maka tidak kami gunakan,” ungkapnya.

Selama operasi, polisi menangani 42 kasus balap liar, atau rata-rata tiga kasus setiap hari. Sebagian besar terjadi di kawasan padat remaja, meski sosialisasi telah dilakukan hingga ke SMA dan SMK.

Pelanggaran yang paling dominan adalah kebut-kebutan dan pengendara tanpa pelat nomor. Penindakan manual tetap dilakukan dengan prinsip keselamatan personel.

“Kalau mereka tidak berhenti saat dicoba dihentikan, keselamatan petugas jadi prioritas,” kata Ricky.

AKBP Ricky menegaskan bahwa operasi ini menjadi kunci dalam mengembalikan disiplin berlalu lintas masyarakat setelah periode tanpa tilang manual menunjukkan dampak serius.

“Semua upaya ini bertujuan menekan angka kecelakaan dan membangun kembali budaya tertib berlalu lintas. Ini komitmen kami untuk keselamatan masyarakat,” tandasnya.